JAKARTA - Kiai Kholil Ridwan, menerima voa-islam.com di saung rumahnya,
Sabtu (11/4/2014), komplek Pesantren Husnayain, Kalisari, Jakarta Timur.
Rumahnya sederhana. Penuh dengan tanaman hias. Nampak sekilas asri. Ini merupakan
hoby Kiai Kholil.
Pendiri PPI
(Pengajian Politik Islam), nampak rilek, tak menunjukkan rasa kesedihan.
Betapapun, partai yang didukungnya Partai Bulan Bintang, tak sampai 2 persen
perolehan suaranya.
Dibelakang rumahnya
beberapa ‘muridnya’ sedang mengumpulkan barang-barang bekas sumbangan dari
anggota majelis ta’limnya. Setiap pekan berlangsung majelis di Masjid
Husnayain, pengajian yang diisi oleh Kiai Kholil Ridwan.
Barang bekas itu,
sebagian besar plastik, seperti kemasan aqua. Barang-barang bekas yang
dikumpulkan dari sumbangan itu, kemudian dijual dan digunakan membiayai
Pesantren Husnayain, sebagai dana infaq. Kiai Kholil mengatakan, “Saya malu
kalau saya harus minta dana terus-menerus", tuturnya. Subhanallah. Itulah
kegiatan Kiai Kholil Ridwan di pagi hari. Selain sebagai Ketua MUI.
Berikut ini
wawancara voa-islam.com dengan Kiai Kholil Ridwan tentang berbagai situasi dan
perubahan yang terjadi di Indonesia, khususnya yang dihadapi oleh umat Islam.
Tanya : Bagaimana menurut pendapat Kiai tentang
hasil pemilihan legislative 2014 ini? Terutama partai-partai Islam?
Jawab : Saya sebagai da’i melihat kondisi umat Islam
berbeda dengan kondisi di saat Nabi Muhammad masih hidup. Saat itu golongan
‘munafiqin’ ada, tapi merupakan golongan minoritas. Tapi, sekarang kondisi umat
Islam, berbeda ketika berlangsung saat pemilu, justru membantu musuh Islam.
Dan orang yang
munafiqin secara amal berbeda. Orang-orang munafiqin sekarang ini, mereka
jumlahnya mayoritas, dan membuat menang musuh Islam. Sebaliknya, orang yang
muttaqin itu jumlahnya minoritas. Umat Islam seharusnya menjalankan nilai-nilai
Islam secara kaffah.
Mungkin penggunaan
kata ‘munafiqin’ terlalu menyakiti, maka kondisi umat Islam yang membantu
musuh-musuh Islam dalam pemilu, mungkin posisinya “bisa dituduh munafiq”. Maka,
solusi agar umat Islam jangan salah dalam bersikap, perlu diadakan pengajian
politik Islam.
Tanya : Mengapa sejak dahulu pemahaman umat Islam
sampai sekarang konstan tidak berubah atau tidak ada perubahan?
Jawab : Karena da’wah yang dilakukan saat ini tidak
mengikuti da’wah Rasul. Rasul sangat tegas dalam berda’wah. Ketika di Makkah
dalam menyampaikan da’wah tentang aqidah jelas. Hitam-putih. Ketegasan dalam
aqidah terlihat dalam al-Qur’an (surah al-Kafirun).
Islam membagi
manusia menjadi tiga kelompok yaitu ‘muslim, kafir, dan munafiq. Tidak ada
dikotomi tentang munafiq. Di Indonesia lebih dikenal dengan pembagian umat
Islam hanya ‘muslim dengan kafir’. Dan, ulama Islam di Indonesia tidak
mengajarkan politik Islam. Tidak menganggap belajar politik Islam itu sebagai
fardhu ‘ain.
Majelis ta’lim
Rasul itu merupakan akademi yang syamil dilakukan terus menerus . Di bina terus
menerus. Tanpa henti. Dari pribadi muslim yang bertauhid yang memiliki aqidah
yang jelas ketika da’wah di Makkah kemudian membentuk keluarga Muslim. “Quu
anfusikum wa ahlikum naaro”. Saat di Makkah da’wah Rasul hanya memperbaiki
(menanamkan) aqidah. Belum ada perintah shalat, zakat dan seterusnya. Saat ini
hanya dua tipe manusia , yaitu muslim dengan kafir.
Tanya : Jadi ada kesalahan dalam method da’wah saat
ini?
Jawab : Ulama kita sering memposisikan diri sebagai
penghuni akhirat sebelum mati. Muatan da’wah hanya mengajarkan cara masuk surga
dengan cara menjadi santri, ustadz, khatib atau penceramah. Menjadikan diri
ahli surga sebelum mati. Sedang da’wah Rasul , bagaimana membumikan surga
akhirat hadir di dalam kehidupan di dunia. ‘Hasanah’ di dunia, seperti yang
kita lihat di Madinah.
Di Madinah tidak
yang haram, dan yang haram dibuang (dikeluarkan) dari Madinah. Seperti hasanah
di akhirat, tidak ada yang haram. Karena yang haram sudah dibuang oleh
Rasulullah. Seharusnya, gerakan da’wah sekarang membentuk pribadi yang berani
‘baro’ (memusuhi, membenci, dan bahkan memerangi) segala sesuatu yang dimusuhi,
dibenci, dan bahkan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya.
Seorang khatib di
Al-Azhar, bercerita sahabat Umar menghukum mati anaknya Abdullah. Kemudian,
para sahabat mimpi bertemu dengan Abdullah, berada di surge, karena di rajam.
Betapa Khalifah Umar, anaknya sendiri dihukum mati, karena berzina.
Suatu ketika,
Abdullah dari Irak membawa uang mau ke Madinah. Uangnya dibelikan kuda, dan itu
diserahkan lagi dalam bentuk keuntungan. Tetapi, Umar marah, dan Abdullah
dihukum camuk oleh ayahnya.
Kita puluhan tahun
di Indonesia, konsep da’wah kita belum bisa mengubah secara total kehidupan
umat. Da’wah itu, tidak terbatas waktunya, dan materinya bisa al-Qur’an,
Hadist, kemudian mengarahkan umat mengamalkan semua yang ada dalam al-Qur’an
dan Hadist. Termasuk membahas urusan dunia. Maka, menghadapi masa depan umat
Islam, kita harus ‘back to mosque’ (kembali ke masjid), menjadi pusat gerakan.
Masjid harus menjadi pusat perubahan di Indonesia.
Tanya : Sering sikap hitam putih dianggap negative?
Jawab : Kita harus bersikap ‘hitam-putih’ dalam
urusan keimanan. Artinya, iman sama dengan surga, sebaliknya syirik sama dengan
neraka. Kita jangan berada dalam posisi yang ‘abu-abu’. Tidak jelas. Karena,
sedikit ada noda pada warna putih, kelihatan nodanya. Sedangkan warna putih
diatas hitam, akan nampak warna putihnya. Berbeda dengan abu-abu. Semuanya
menjadi tidak jelas.
Tanya : Terkait dengan pilpres?
Jawab : Politik Islam lawan dari politik kufur. Jadi
harus jelas. Umat Isam harus hijrah dari politik sekulerisme, dan nasionalisme,
kembali kepada politik Islam. Kalau sikap hijrah ini diadzankan (diserukan)
terus-menerus, walau orang sudah shalat, tetap saja ada adzan, makan akan
membangun kesadaran. Masalahnya, kita – para da’i tidak melakukan adzan, secara
terus-menerus. Sedangkan orang-orang kafir memiliki money, media, mass (massa).
Tetapi, sejatinya
umat Islam mempunyai ‘4 M’, yaitu masjid, ma’had (pesantren), majelis ta’lim,
dan umat (mass). Keempatnya kalau didayagunakan secara optimal, kita umat Islam
bisa bersaing dengan kekuatan orang-orang kafir. Di mana umat Islam memiliki
jaringan masjid, mushola, majelis ta’lim, dan pesantren.
Kalau semua sarana
yang ada digunakan mendidik umat Islam agar memahami politik Islam, maka sangat
berpengaruh. Apalagi, kalau dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dan
pesantren, seperti di Ma’had, Aliyah, dan Pesantren, bagaimana mereka mereka
harus menyalurkan aspirasi mereka secara benar sesuai dengan prinsip Islam.
Selama hampir 60
tahun lebih sejak Indonesia merdeka, terus-menerus dibawah pengaruh politik dan
kekuasaan kaum sekuler. Padahal, Indonesia mayoritas penduduknya 250 juta,
mereka Muslim.
Sebenarnya,
Partai-partai Islam kalau suaranya digabungkan dari hasil pemilu 2014 ini, bisa
mencapai 31 persen, dan sudah cukup mencalonkan calon presiden dari kalangan
mereka sendiri. Para pemimpin Islam harus bersikap ‘waa’tasimu bihabiillahi wa
laa tafarroquu’. Bersatu dan tidak berpecah belah.
Dengan hanya
bertumpu kepada mencari ridha Allah. Ridha Allah ini yang akan memberikan
keberkahan bagi kaum Muslimin. Bukan semata-mata kekuasaan. Tidak ada gunanya
menjadi bangsa yang makmur, tapi mendapatkan murka Allah. Para pemimpin Islam,
bisa membuatkan kebijakan dan keputusan misalnya, calon presiden setiap tahun
sekali digilir, berdasarkan kesepahaman.
Tanya : Bagaimana kalau ada Partai Islam yang
mendukung PDIP dan Jokowi?
Jawab : Kita harus mengabaikannya. Umat Islam harus
kompak. Sesama Partai Islam harus lebih merapat, dan saling mendukung dengan
membuat kontrak politik. Kekuatan Islam dan Partai Islam harus berani melakukan
gerakan “ABJ” (Asal Bukan Jokowi).
Tanya : Sejauh mana ancaman Jokowi bagi umat Islam?
Jawab : Pernah Ketua MUI, Din Syamsuddin, saat
berlangsung di Muhammadiyah, menawarkan kepada Jokowi menjadi iman shalat, dan
Jokowi menerima saja, tawaran dari Din. Seharusnya, jika Jokowi mengerti akan
menolak. Sebab, biasa yang menjadi imam shalat itu, tuan rumah. Bukan tamu yang
diundang. Ini menggambarkan Jokowi tidak faham, dan tidak mengerti adab dalam
Islam.
Jokowi melukai hati
umat Islam. Di Solo meninggalkan jabatannya sebagai walikota. Kemudian, sekarang
Walikota Solo, digantikan wakilnya yang katolik. Di Jakarta, Jokowi juga
meninggalkan jabatannya sebagai gubernur, dan dengan demikian Ahok yang Kristen
akan menjadi gubernur, tanpa harus mengeluarkan keringat. Gubernur DKI, jatuh
dan dipegang Cina Kristen, tanpa pilkada.
Jokowi, seorang
muslim yang tidak memiliki perasaan. Bayangkan Jakarta itu dibentuk dan direbut
oleh Fatahilah dengan perang dan tetesan darah dari penjajah Purtugis dan
barat. Tapi, sekarang dengan sangat mudah diambil oleh Cina Kristen. Tanpa
mengeluarkan keringat. Jakarta berawal dari “Fathan Mubina”, kemenangan yang
nyata.
Kemenangan
Fatahillah mengusir penjajah Barat Kristen, dan sekarang jatuh ke tangan Cina
Kristen. Bagaimana kota Jakarta yang direbut dengan perang dan tetesan darah
umat Islam, kemudian sekarang kota Islam Jakarta akan di-Kristenkan, dan
menjadi kemenangan ‘Kristen’? Sungguh sangat menyedihkan.
Post a Comment