Hepi Andi Bastoni (kanan). |
Dakwah Islam
sesungguhnya tidak pernah jauh dari kekuasaan, apalagi apatis. Secara langsung
atau tidak, dakwah pasti berinteraksi dengan kekuasaan. Itulah salah satu pokok
pikiran yang ditekankan oleh Hepi Andi Bastoni, pakar Sejarah Islam, dalam
kajian Bedah Buku Geliat Partai Dakwah 1: Memasuki Ranah Kekuasaan di Aula
Masjid Al-Ghifari, Bogor, pada hari Sabtu, 2 November 2013 yang lalu.
Jenis interaksi
yang pertama, menurut Hepi, adalah oposisi. Hal ini dicontohkan, misalnya oleh
Nabi Musa as. "Nabi Musa as berhadapan langsung dengan penguasa absolut
pada masa itu, yaitu Fir'aun. Bukan hanya mengkritisi, tapi bahkan
terang-terangan menjatuhkan Fir'aun. Inilah contoh oposisi, sebagaimana
dicontohkan oleh Nabi Musa as," ujar Hepi.
Contoh Nabi lain
yang pernah beroposisi dengan penguasa pada masanya adalah Nabi Ibrahim as.
Begitu kerasnya penentangan dari sang penguasa sehingga Nabi Ibrahim as hendak
dibakar hidup-hidup.
Meski demikian,
oposisi juga bukan harga mati. Ada juga Nabi yang berkoalisi dengan penguasa,
misalnya Nabi Yusuf as. "Nabi Yusuf as berkoalisi dengan Raja Mesir.
Beliau memegang jabatan semacam Menteri Perekonomian di Mesir, sedangkan
penguasanya tetaplah Sang Raja. Yang pasti, dengan memegang amanah tersebut,
Nabi Yusuf as dapat memberikan banyak kemaslahatan bagi rakyatnya," kata
sang penulis yang sudah melahirkan 50 judul buku ini.
Selain beroposisi
dan berkoalisi ada juga Nabi yang berkuasa penuh pada jamannya, contohnya
adalah Nabi Sulaiman as. "Nabi Sulaiman as adalah Nabi yang merangkap
penguasa negara. Kekuasaannya begitu luas dan perkasa, sehingga ia bisa
mendakwahi negeri tetangga seperti Negeri Saba'," ungkap Hepi.
Nabi-nabi lainnya,
meski tidak secara langsung berinteraksi dengan kekuasaan, namun dakwahnya
tetap mempengaruhi kekuasaan. Banyak Nabi yang seruan dakwahnya kerap dianggap
sebagai ancaman di mata para penguasa.
Ada pula Nabi yang
mengalami ketiga fase di atas, yaitu Nabi Muhammad saw. "Nabi Muhammad saw
menjadi oposisi kekuasaan ketika berdakwah di Mekkah, berkoalisi di Madinah,
dan berkuasa sepenuhnya sejak terjadinya Fathu Makkah," kata Hepi.
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa dakwah para da'i di masa kini pun tidak mungkin
selamanya menghindari interaksi dengan kekuasaan. Sudah semestinya
jabatan-jabatan strategis di pemerintahan diisi oleh para da'i yang kompeten di
bidang-bidang tersebut. Meskipun, tentu saja, jabatan semacam itu sesungguhnya
merupakan sesuatu yang tidak diinginkan oleh para da'i.
Hepi yang juga
diajukan sebagai caleg DPRD Kota Bogor pada Pileg 2014 mendatang oleh FPKS
mengatakan bahwa di partainya pun banyak sekali caleg yang tidak suka
dicalonkan. Ia sendiri sempat menyampaikan keberatan secara tertulis
berlembar-lembar, namun keberatannya ditolak dan namanya tetap dicantumkan
sebagai caleg. Ada pula da'i yang menyatakan siap infaq dalam jumlah besar
asalkan tidak dijadikan caleg. Padahal, umumnya orang beranggapan bahwa banyak
orang yang mau menyetor dana besar-besaran demi menjadi caleg.
"Para da'i
menganggap politik sebagai bagian dari dakwah, dan jabatan adalah amanah. Oleh
karena itu, mereka tidak memperebutkannya," demikian pungkas Hepi.
(mal/ds)
[ISLAMEDIA]
Post a Comment