Oleh: Beggy
Rizkiyansyah
SATU-PERSATU tokoh-tokoh partai dan politisi
saat ini mesuk jeruji besi atas kasus korupsi. Bahkan termasuk politisi dari
partai berbasis Islam. Musibah ini, tentu saja menjado olok-olok yang
cukup mengenaskan. Kelompok-kelompok di luar Islam seolah bernyanyi dan mencemooh,
tentu saja, menyudutkan Islam di mana seolah ingin mengatakan, fakata
nilai-nilai Islam tidak ada pengaruhnya dalam kancah politik dan dalam urusan
bernegara.
Tentusaja
ini sebuah bencana, karena pegiat partai berbasis Islam seharusnya sadar bahwa
ketika mereka berpartai, mereka membawa bendera yang lebih besar, yaitu
agamanya sendiri. Pengharapan seperti ini amat tinggi di hadapat rakyat dan
partai-partai lain yang tidak mengusung agama. Wajar jika mata jeli
berbagai kalangan, masyarakat, LSM, media massa terus mengintai
setiap gerak-gerik politisi dan tokoh-tokoh dari partai Islam. Selain hanya
mencari celah, tentu saja mencari ibrah (tauladan).
Musibah
yang sedang dialami para politisi sedang terjerat korupsi
Inilah
yang mungkin luput kita sadari. Apa daya, sekali lagi, kita malas menengok
sejarah barangsekejap. Padahal salah satu partai Islam terbesar bernama Masyum
itelah menorah kan tinta perjuangan dalam usaha membasmi korupsi.
Korupsi
memang bukan barang baru di negeri ini. Sejak di era pemerintah kolonial,
korupsi menjangkiti kaum pribumi. Bahkan ketika kemerdekaan telah kita raih
dari tangan penjajah, bau amis korupsi ternyata ikut melekat di tangan para
politisi kita sejak dini. Karya semacam Korupsi (Pramoedya AnantaToer, 1961) dan Senja
di Jakarta (MochtarLubis,
1970) menggambarkan betapa korupsi di kala itu sudah menjamur. Ketika itu
praktek korupsi begitu menggurita, penuh manipulasi. Modus yang dikenal pada
periode 1950-an adalah ‘Importiraksentas’ atau pengusaha ‘Ali-Baba’. Kebijakan
nasionalisasi saat itu diakali para ‘Importiraksesntas.’ Sebuah akal-akalan
perusahaan nasional (dalam negeri) yang menjual kembali izin impor kepada
perusahaan asing. Begitu pula taktik ‘Ali-Baba’, sebuah modus yang berkedok
importir pribumi untuk mendapatkan fasilitas impor dari pemerintah. Padahal di
balik importer ini hanyalah pengusaha China atauBelanda. (The Deciline of Constitutional
Democracy in Indonesia, Herbert,
Feith.Equinox Publihshing. 2007. Singapura).
Maka
hal semacam ini lazim disebut ‘Ali-Baba’ atau Ali-Willem.(baca: Partai
Islam di Pentas Nasional ,
Deliar Noer, Pustaka Utama Grafiti. 1987. Jakarta)
Ketika
itu, negara di bawah pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli
1955). Pemerintah kala itu memang menggelorakan ekonomi nasional (termasuk
nasionalisasi) dengan memberikan kredit-kredit pada pengusahanas ional.
namun, Menteri Keuangan saat itu, Iskaq Tjokrohadisoerjo (1953-1955), melakukan
politik nasional dalam ekonomi dengan banyak diskriminasi.Ia mengutamakan
pengusaha dari partai PNI saja, atau yang menyokong pemerintahan PNI (Ali)
sehingga diberi kemudahan tanpa memperhatikan kemampuan.Termasuk salah satunya,
perusahaan importir kertas baru, Inter Kertas, yang setengah dari sahamnya
dimiliki oleh Sidik Djojosukarto. Menteri Iskaq berbuat seperti ini,
bukan tanpa alasan. Tampaknya PNI mengejar persiapan untuk pemilu tahun
1955. Bahkan mengambil kebijaksanaan untuk menyokong dana partai. Bersama
Ong Eng Die (keduanya dari PNI), mereka memerintahkan dana kementerian untuk
disimpan di Bank Umum Nasional, suatu bank PNI. Mereka juga merombak personalia
dan administrasi kementerian terutama yang berhubungan dengan perdagangan dan
perindustrian. Menteri Iskaq juga pernah membatalkan Koperasi Batik Indonesia
sebagai satu-satunya importir cambrics, dan member lisensi ini kepada beberapa
importir tak berpengalaman.Selain itu dia juga memberikan izin impor kertas
untuk pemilu kepada suatu perusahaan yang sahamnya dimiliki orang-orang PNI.
Kebijakan-kebijakan
seperti ini mendapat tentangan keras dari partai Masyumi. Ketua Seksi Ekonomi
dari parlemen, KH Tjikwan dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi)
mengajukan mosi di parlemen untuk interpelasi, guna mempertanyakan kebijakan
Menteri tersebut. Mosi untuk interpelasi diterima dengan suara bulat. Namun
mosi tak percaya berakhir dengan kegagalan. Kegagalan ini lebih bersifat
politis, yaitu pemihakan kekuatan antara oposisi dan partai yang ikut dalam
kabinet. Walaupun begitu, Partai NU yang ikut serta dalam kabinet turut
mengirimkan nota politik yang berisi kekhawatiran tentang masalah ekonomi.
Begitu pula PSII yang juga ikut dalam kabinet menyatakan tidak bertanggungjawab
atas kelanjutan kebijakan menteri-menteri dari PNI itu.
Kabinet
Ali Sastroamidjojo menyerahkan kekuasaannya kepada Boerhanoeddin Harahap pada
12 Agustus 1955.Di sinilah kemudian Kabinet Boerhanoeddin yang berasal dari
Masyumi membuktikan dirinya melawan korupsi dengan lantang.Kabinet
Boerhanoeddin langsung melancarkan kampanye anti korupsi. Pasal lima dari
program kabinet ini adalah memberantas korupsi. Kabinet ini langsung
menyikat orang-orang yang terindikasi korupsi. Beberapa hari setelah dilantik,
Mr. Djodi Gondokusumo, bekas Menteri Kehakiman ditangkap. Begitu pula Menteri
Keuangan Ong Eng Die. Rumah Iskaq Tjokroahadisurjo digeledah. Saat itu
Iskaq sendiri sedang berada di luar negeri. Ia berkali-kali dipanggil
pulang.Tetapi perjalanannya di luar negeri di perpanjang.
Dalam
biografinya, ia mengakui, sebetulnya ia hendak pulang, tetapi di Singapura ia
dijemput Lim Kay, yang diutus pimpinan pusat PNI.( Boerhanoeddin
Harahap. Pilar Demokrasi. Busyairi, Badruzzaman Bulan Bintang,
1989, Jakarta). Iskaq sendiri tahun 1960 divonis bersalah oleh pengadilan,
namun kemudian diselamatkan Soekarno dengan grasinya.Daftar orang-orang yang
ditahan termasuk beberapa orang di badan penyelidik negara, pejabat kantor
impor, serta pengusaha (importir).
Penangkapan
merebak di mana-mana. Bandung, Surabaya, Sumatera tengah, Jawa tengah hingga
Penang.Termasuk di Singapura, Konsul Jenderal Arsad Astra juga dipanggil pulang
dan ditahan.
Delapan
hari setelah dilantik, Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap - yang saat
dilantik baru berusia 38 tahun- menjelaskan kebijakannya melawan korupsi, “Untuk
memperbaiki kembali keadaan yang tak sehat dalam masyarakat, dan juga di dalam
kalangan pemerintahan sebagai akibat dari tindakan-tindakan korup oleh berbagai
orang, maka pemerintah menganggap perlu untuk menjalankan tindakan-tindakan
yang keras dan tegas.”
Ia juga
menegaskan tak pandang bulu membasmi korupsi, tanpa peduli partai, golongan
atau agamanya. Ia kemudian juga menggencarakan perlawanan dengan memperluas
kekuasaan Jaksa Agung. Ia membebaskan Jaksa Agung dari tiap pembatasan sehingga
dapat bertindak terhadap siapa saja atas dasar hukum.
TIPIKOR
Bukan organisasi pertama
Gebrakan
yang lebih keras dari kabinet beliau adalah, saat kabinetnya mengeluarkan RUU
Anti Korupsi yang memuat suatu exorbitant-recht. RUU itu mewajibkan kepada
pegawai negeri atau orang lain untuk memberikan bukti-bukti yang menerangkan
asal-usul harta benda (kekayaan) yang dimilikinya, yang biasa diistilahkan de
bewijslast-omkeren.
RUU
anti korupsi itu terdiri dari dua bagian.
Pertama,
mengatur berbagai tindakan di dalamperadilan yang ketentuannya berlainan dengan
peradilan biasa. Yaitu mengadakan pengadilan tersendiri-seperti juga untuk
tindakan pidana ekonomi- dan terdakwa harus dapat menjawab dengan sejujurnya
terhadap berbagai tuduhan kepadanya.
Bagian
kedua, dari
RUU tersebut adalah mengatur berbagai tindakan di luar peradilan. Bagian ini
memungkinkan penyelidikan harta benda seseorang oleh Biro Penilik Harta Benda,
untuk menyelidik besarnya harta dan kelegalan kepemilikan harta tersebut. Suatu
praktek pencegahan korupsi yang akhirnya baru dimulai beberapa waktu belakangan
ini. Di mana hari Pengadilan Tindak Pidana Korupski (TIPIKOR) dan lahirnya KPK.
RUU ini
pun dibawa ke parlemen. Namun sayangnya RUU ini kandas setelah tidak
mendapatkan dukungan memadai dari partai berpengaruh seperti Partai NU.
Boerhanoeddin sendiri tidak mengetahui sebab penolakan itu oleh Partai NU.
Rangkaian usaha cabinet ini memberantas korupsi, seringkali dituduh sebagai
aksi balas dendam, termasuk oleh PNI. Namun Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap
menolaknya, ia menegaskan pemberantasan korupsi dilakukan secara, obyektif,
hati-hati dan tidak asal tangkap.*/bersambung
pada tulisan Masyumi dan Keserhanaan Hidup
Penulis
adalah pemerhati masalah sejarah
[Surch: Hidayatullah.com]
إرسال تعليق